Monolog Seorang Ayah

Buat Anak-Anakku & Menantuku

Anak-anak ayah pernah melihat tubuh ayah dibawa masuk ke bilik kecemasan. Waktu itu anak-anak ayah tak dibenarkan masuk oleh petugas hospital. Kalian menitis air mata. 

Selang tak lama nama ayah dipanggil kerana ada keperluan menemui waris. Anak-anak ayah dikhabarkan ayah perlu ditahan kat wad. 

Malamnya ayah bersendirian tanpa keluarga kecuali petugas hospital. Itu pun ada waktu sahaja mereka datang ke katil ayah. 

Anak-anak ayah pernah melihat sekujur tubuh disorong ke bilik bedah. Ayah lemah waktu itu kerana jiwa tak tenteram kerana memikirkan pembedahan itu akan berjaya atau sebaliknya. Enam jam kemudian ayah dikeluarkan dalam keadaan masih lemah tapi ayah masih senyum sebab melihat wajah ibu dan anak-anak. Bukan wajah malaikat Munkar dan Nakir! 

Ayah sihat selepas itu dan meneruskan kehidupan seperti biasa. 

Akhir suatu masa ayah dan ibu buat keputusan menunaikan haji. 

Di kompleks haji/lapangan terbang ayah tahu kalian menangis. Tapi kalian tak tunjuk air mata itu kerana malu pada orang lain. Malam itu ayah tahu kalian menangis semahu-mahunya dalam bilik yang gelap. Mana tidaknya inilah pemergian ayah dan ibu paling lama sejak kalian dilahirkan.

Walaupun kalian tahu jika ayah atau ibu meninggal di Mekah atau Madinah itulah tempat sebaik-baiknya. Kalian masih terasa pelukan ayah ibu yang terakhir ketika berpisah. Panas badan ibu masih seperti ketika mengandungkan kalian. 

Ketika mencium tangan ayah kalian masih terasa hangatnya macam tangan ayah menyuapkan nasi waktu kecil. Waktu itu kalian pasrah samada ayah dan ibu balik atau tidak. 

Ketika ayah ibu tiba di balai ketibaan wajah kalian tidak hiba lagi. Tubuh ibu dipeluk tangan ayah dicium. Ciuman kalian ayah rasa seperti ketika bayi. 

Entah Bila tarikhnya. Ayah sakit dan nazak. Ayah terlantar sakit makan pun hanya bubur dan air susu. Puas kalian berusaha akhirnya ayah berperang dengan sakaratulmaut yang amat pedih. Kata Imam Ghazali, sakit sakaratulmaut bukan hanya pada kaki, pada perut, pada dada dan pada ubun. Sakitnya seluruh tubuh yang sukar digambarkan. 

Ketika ayah diam ketakutan kerana melihat malaikat maut kalian mengajar Sahadah. Kalian membaca Al Quran. Akhirnya ayah pergi. Mata ayah tertutup. Pastinya kalian bersedih waktu itu. 

Di ruang khas tubuh ayah akan dimandikan sambil ayah berkata "perlahankan mandian ini". Kalian dibenarkan melihat urusan mandian ayah. 

Tubuh ayah di kafankan. Kemudian ayah disolatkan. Anak-anak ayah jadi makmum. Kalau ayah bernasib baik ada anak lelaki menjadi imam. Tubuh ayah dibawa ke pusara.......Kalian melihat dari atas pusara ayah. Tanah ditimbus perlahan-lahan. Siap dikuburkan imam membaca Talkin. Pilu dan sayu anak-anak ayah waktu itu. 

Tamatlah riwayat ayah. Nama ayah tinggal kenangan. Suara ayah tiada lagi. 

Waktu itu setelah pulang ke rumah kalian ternampak tinggalan pakaian ayah. Waktu itu kalian akan teringat suara ayah mengajar solat mengajar membaca Al Quran. Di mana ayah? 

 Sekarang ayah masih ada. Masih tersenyum. Masih sesekali memarahi kalian.

 Ambillah peluang ketika ayah masih hidup untuk belajar ilmu agama selain pergi berguru dengan tok-tok guru. Sudah pasti setelah ayah tiada semuanya menjadi kenangan.
 ______________________________________________________________________________
Monoloq ini hasil rujukan buku tulisan Imam Ghazali dan Ustaz Ahmad Dusuki Abd Rani_ 

Catatan: Haji Abd. Raai Osman.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Setelah Anda Bersara

Boria dan Dikir Barat

Istana Di Jabal Habsyi, Madinah